Hukum Titius–Bode
Hukum Titius–Bode (terkadang hanya disebut hukum Bode) adalah sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa benda-benda dalam beberapa sistem orbit, termasuk Tata Surya, mengorbit pada sumbu semi-mayor dalam sebuah fungsi sekuen planet.[1]
Rumus
Sumbu semi-mayor, diwakili , setiap planet dimulai dari yang terdekat Matahari mengikuti besaran di mana sumbu Bumi bernilai 10:
dengan . Selain pada nilai pertama, masing-masing bernilai dua kali sebelumnya.
Terdapat rumus lain:
dengan .
Nilai hasilnya dapat dibagi 10 untuk dikonversi menjadi satuan astronomi (au), menghasilkan rumus:
dengan .
Sejarah
Angka-angka yang mendekati hukum Titius-Bode pertama kali ditemukan dalam The Elements of Astronomy oleh David Gregory yang diterbitkan pada tahun 1715. Dia menyatakan bahwa jika jarak Bumi dari Matahari dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama, akan didapati jarak Merkurius sekitar empat, Venus tujuh, Mars lima belas, Jupiter lima puluh dua, dan Saturnus sembilan puluh lima.[2] Pola ini diadaptasi oleh beberapa orang seperti Christian Wolff, seorang filsuf, dan dua astronomer Jerman, Johan Daniel Titius dan Johann Elert Bode dalam tulisan berbeda dalam masa yang berbeda pula.[3]
Pada tahun 1764, Charles Bonnet menuliskan dalam karyanya Contemplation de la Nature bahwa, "Kita tahu tujuh belas planet yang masuk ke dalam susunan tata surya kita [yaitu, planet-planet besar dan satelitnya]; tetapi kita tidak yakin tidak ada lagi planet yang lain." Pada tahun 1766,[4] Titius menerjemahkan tulisan berbahasa Prancis tersebut ke bahasa Jerman dan menambahkan dua paragraf baru.[5]
Kutipan paragraf tambahan Titius:[5]
Pada tahun 1768, di usia sembilan belas tahun, Bode menerbitkan edisi kedua ringkasan astronomi Anleitung zur Kenntniss des gestirnten Himmels "Panduan untuk Mengenal Langit Berbintang". Bode menemukan hubungan yang dicetuskan oleh Titius dan memasukkannya sebagai catatan kaki dalam teksnya:[5]
Ketika pertama kali diterbitkan, hukum tersebut hampir dipenuhi oleh semua planet yang dikenal saat itu, dari Merkurius sampai Saturnus, dengan celah antara Mars dan Jupiter. Pada tahun 1781, penemuan planet baru Uranus yang berjarak sesuai prediksi menjadikan Hukum Bode kemudian diterima secara luas. Berdasarkan penemuan ini, Bode mendesak pencarian planet kelima di antara Mars dan Jupiter. Pada celah tersebut kemudian ditemukan Ceres, asteroid terbesar di Tata Surya, di tahun 1801. Namun, penemuan planet Neptunus pada 1846 menunjukkan ketidakakuratan prediksi Bode.[6] Penemuan sejumlah besar asteroid di daerah yang kemudian disebut sabuk asteroid juga menyebabkan Ceres tidak lagi disebut planet.[7]
Penjelasan teoretis
Tidak ada penjelasan teoretis yang kuat yang mendasari hukum Titius-Bode, tetapi ada kemungkinan bahwa dengan kombinasi resonansi orbit dan kekurangan derajat kebebasan, sistem planet yang stabil memiliki kemungkinan tinggi untuk memenuhi hubungan yang diprediksi hukum Titius-Bode.[8] Karena hal ini mungkin kebetulan matematis dan bukan "hukum alam", kadang-kadang ia disebut sebagai aturan, bukan "hukum".[9] Astrofisikawan Alan Boss menyatakan bahwa ini hanya kebetulan,[10] dan jurnal ilmu keplanetan Icarus tidak lagi menerima tulisan ilmiah yang mencoba memberikan versi lain "hukum" tersebut.[11] Data dari sistem eksoplanet juga tidak menunjukkan berlakunya aturan ini di sistem planet lain.[12]
Data
Hukum Titius–Bode memprediksi jarak setiap objek dalam satuan astronomi. Di bawah ini, jarak prediksi dibandingkan dengan jarak beberapa planet dan planet katai sebenarnya.[13]

| Planet | Jarak prediksi (AU) | Jarak sebenarnya (AU) |
|---|---|---|
| Merkurius | 0.4 | 0.39 |
| Venus | 0.7 | 0.72 |
| Earth | 1.0 | 1.00 |
| Mars | 1.6 | 1.52 |
| Asteroid | 2.8 | 2.77 |
| Jupiter | 5.2 | 5.20 |
| Saturnus | 10.0 | 9.54 |
| Uranus | 19.6 | 19.19 |
| Neptunus | 38.8 | 30.07 |
| Pluto | 77.2 | 39.52 |
Referensi
Bacaan tambahan
- The ghostly hand that spaced the planets New Scientist 9 April 1994, p13
- Plants and Planets: The Law of Titius–Bode explained by H.J.R. Perdijk
- Distancias planetarias y ley de Titius-Bode (Spanish) by Dr. Ramon Parés